Unit khusus ini dipelopori Mayor Prabowo Subianto, Komandan Pusat Pendidikan Khusus Kopassus di Batujajar, Jawa Barat, yang kemudian menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Instruktur teknik perang kuno ini diambil dari para pemburu jejak (trackers) suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Satuan ini teruji ketika Kopassus membebaskan 13 sandera peneliti Lorents yang disekap gerombolan Organisasi Papua Merdeka pimpinan Kelly Kwalik di pedalaman Mapanduma, Kerom, Jayawijaya, pada Mei 1996.
Semua prajurit Kopassus mampu diterjunkan ke dalam gedung, hutan, atau laut dengan teknik fast trooping, fast raffling, dan stabo dari helikopter. Mereka memiliki penembak jitu alias sniper dengan perlengkapan persenjataan standar pasukan antiteror dunia, seperti senapan serbu berjarak pendek untuk pertempuran jarak pendek (PJD) MP-5, Stayer, senapan serbu SS-1, pistol otomatis yang tak perlu dikokang H&K P-7, dan sepatu lapangan yang mengecoh lawan karena jejak tapaknya berjalan ke arah kebalikan.
Semua prajurit Kopassus mampu diterjunkan ke dalam gedung, hutan, atau laut dengan teknik fast trooping, fast raffling, dan stabo dari helikopter. Mereka memiliki penembak jitu alias sniper dengan perlengkapan persenjataan standar pasukan antiteror dunia, seperti senapan serbu berjarak pendek untuk pertempuran jarak pendek (PJD) MP-5, Stayer, senapan serbu SS-1, pistol otomatis yang tak perlu dikokang H&K P-7, dan sepatu lapangan yang mengecoh lawan karena jejak tapaknya berjalan ke arah kebalikan.
Atas prestasinya membebaskan sandera di Mapanduma, media Inggris The Times pernah memuji Kopassus sebagai salah satu pasukan terbaik dunia, setelah Special Air Services dari Inggris dan Pasukan Khusus Israel. Namun pamor Kopassus memudar setelah Reformasi 1998, apalagi setelah beberapa perwiranya terbukti melakukan penculikan aktivis mahasiswa dan pembunuhan Ketua Dewan Presidium Papua, Theys Hiyo Eluay. Bahkan Komandan Jenderal Kopassus sekarang, Mayjen Sriyanto Muntasram, sedang menjalani proses pengadilan atas dakwaan pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus Tanjung Priok.
No comments:
Post a Comment