Missile Anti Satelit |
Bahkan pada masa damai pun, satelit mata-mata merupakan aset yang sangat berharga bagi militer. Dari ketinggian sekitar 600 kilometer di atas permukaan Bumi, ia memantau secara periodik titik atau kawasan yang dicurigai oleh si empunya satelit. Apakah ada gerakan pasukan atau kendaraan tempur. Pemantauan terhadap aktivitas di satu lokasi, misalnya di fasilitas nuklir Iran di Natanz, rutin dilakukan oleh AS.
Mengingat pentingnya peranan satelit ini, AS mengembangkan tiga kebijakan: Pertama, terus mengembangkan satelit mata-mata; kedua, mengembangkan sistem pengawalannya; dan ketiga mempertahankan hak pemanfaatan ruang angkasa, dan termasuk di sini adalah melawan langkah negara lain yang berupaya mengembangkan kemampuan serupa. Atas dasar inilah AS tampak kebakaran jenggot ketika China pada pagi tanggal 12 Januari lalu melakukan uji senjata antisatelit (ASAT).
Uji senjata itu sendiri pertama dilaporkan oleh situs online jurnal kedirgantaraan Amerika Aviation Week & Space Technology (Aviationnow.com). Seperti ditulis oleh Craig Covault (17 Januari) dalam uji coba tersebut China berhasil menghancurkan satelit cuaca tua Feng Yun (FY) 1C milik China sendiri yang diluncurkan tahun 1999 dan berorbit polar pada ketinggian 800 km (500 mil). Disebutkan pula, bahwa penghancuran dilakukan dengan menabrak satelit dengan alat pembunuh kinetik yang dipasang pada satu rudal balistik jarak sedang.
Selain AS, uji itu sendiri mendapat reaksi keras dari Australia, Kanada, dan Jepang. AS menilai uji sistem ASAT tersebut tidak konsisten dengan semangat kerja sama yang diinginkan oleh kedua negara dalam bidang pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan nonmiliter. Sementara Jepang menilai ketidaktransparanan China menyangkut pengembangan militer akan mudah memicu kecurigaan mengenai motif yang dimilikinya. Australia sendiri dikutip menentang uji coba tersebut dan telah memanggil Duta Besar China untuk dimintai keterangan.
Kemajuan Besar
Harus diakui, bahwa dengan uji tanggal 12 Januari lalu China telah membuat kemajuan besar, mengingat sebelum ini hanya AS dan Uni Soviet/Rusia yang bisa melakukan aksi pelumpuhan satelit. Tidak heran jika AS menaruh perhatian besar terhadap perkembangan ini. Bersama dengan kemampuan pengiriman antariksawan ke orbit, juga rencana pembangunan stasiun angkasa, uji senjata ASAT China akan memacu AS untuk semakin mengamankan keunggulan antariksanya sendiri.
Dalam perspektif kemajuan China itu pula pemerintahan Bush tahun lalu mengumumkan Kebijakan Antariksa Nasional baru dalam 10 tahun terakhir. Kebijakan ditujukan untuk menjamin bahwa kemampuan AS di bidang antariksa tetap terjaga di tengah meningkatnya tantangan dan ancaman. Seperti dikemukakan oleh Robert G Joseph, Wakil Menlu Bidang Pengawasan Senjata dan Keamanan Internasional, hal itu merupakan keharusan, mengingat kemampuan antariksa bersifat vital bagi keamanan nasional dan kebaikan ekonomi.
Jadi, sebagaimana di bidang senjata nuklir, di bidang senjata ASAT pun AS menerapkan standar ganda. Di satu sisi keras menentang upaya pihak lain untuk mengembangkan senjata ini, di sisi lain pihaknya tak mau dikekang. Pemerintahan Bush dikenal menentang adanya persetujuan global yang melarang sistem senjata ASAT karena ingin mempertahankan kebebasan bertindak di antariksa. (IHT, 20-21/1)
Kini dengan uji tanggal 12 Januari itu China secara teori bisa menyerang satelit mata-mata AS yang mengorbit di orbit rendah (sampai 800 km). Lebih tepat lagi, yang bisa ditembak sistem ASAT China bukan hanya satelit AS, tetapi juga satelit Jepang, Rusia, Israel, dan satelit Eropa. Pada orbit ini AS punya satelit untuk melakukan pengintaian militer dasar, seperti pergerakan militer, persiapan uji nuklir, dan pelacakan aktivitas terorisme.
Selain diduga untuk mendesak AS agar mau merundingkan pelarangan senjata ASAT, uji sistem ASAT China juga tak bisa dilepaskan dari urusan Taiwan. Tak bisa ditutup-tutupi bahwa China terus memendam kegusaran terhadap AS yang tampak sangat membela Taiwan, wilayah yang ia klaim sebagai salah satu provinsinya itu. Mengingat kemungkinan konflik militer masih selalu ada, masing-masing pihak terus meningkatkan kemampuan untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Dalam hal ini, pengintaian melalui satelit termasuk elemen vital. Sejauh ini, Taiwan sendiri juga diketahui punya wahana antariksa pengintai yang bisa memotret obyek hingga ukuran tiga meter. (Bandingkan dengan satelit mata-mata AS KH-11 yang tiga dekade lalu saja sudah bisa memotret pelat nomor mobil di permukaan Bumi.) Dengan sarana itu yang bisa diketahui adalah berapa jumlah rudal jelajah China yang diarahkan ke Taiwan. Pada masa lalu Taiwan juga menyewa kemampuan satelit mata-mata Israel.
Terus dikembangkan
Mengingat pentingnya peranan satelit ini, AS mengembangkan tiga kebijakan: Pertama, terus mengembangkan satelit mata-mata; kedua, mengembangkan sistem pengawalannya; dan ketiga mempertahankan hak pemanfaatan ruang angkasa, dan termasuk di sini adalah melawan langkah negara lain yang berupaya mengembangkan kemampuan serupa. Atas dasar inilah AS tampak kebakaran jenggot ketika China pada pagi tanggal 12 Januari lalu melakukan uji senjata antisatelit (ASAT).
Uji senjata itu sendiri pertama dilaporkan oleh situs online jurnal kedirgantaraan Amerika Aviation Week & Space Technology (Aviationnow.com). Seperti ditulis oleh Craig Covault (17 Januari) dalam uji coba tersebut China berhasil menghancurkan satelit cuaca tua Feng Yun (FY) 1C milik China sendiri yang diluncurkan tahun 1999 dan berorbit polar pada ketinggian 800 km (500 mil). Disebutkan pula, bahwa penghancuran dilakukan dengan menabrak satelit dengan alat pembunuh kinetik yang dipasang pada satu rudal balistik jarak sedang.
Selain AS, uji itu sendiri mendapat reaksi keras dari Australia, Kanada, dan Jepang. AS menilai uji sistem ASAT tersebut tidak konsisten dengan semangat kerja sama yang diinginkan oleh kedua negara dalam bidang pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan nonmiliter. Sementara Jepang menilai ketidaktransparanan China menyangkut pengembangan militer akan mudah memicu kecurigaan mengenai motif yang dimilikinya. Australia sendiri dikutip menentang uji coba tersebut dan telah memanggil Duta Besar China untuk dimintai keterangan.
Kemajuan Besar
Harus diakui, bahwa dengan uji tanggal 12 Januari lalu China telah membuat kemajuan besar, mengingat sebelum ini hanya AS dan Uni Soviet/Rusia yang bisa melakukan aksi pelumpuhan satelit. Tidak heran jika AS menaruh perhatian besar terhadap perkembangan ini. Bersama dengan kemampuan pengiriman antariksawan ke orbit, juga rencana pembangunan stasiun angkasa, uji senjata ASAT China akan memacu AS untuk semakin mengamankan keunggulan antariksanya sendiri.
Dalam perspektif kemajuan China itu pula pemerintahan Bush tahun lalu mengumumkan Kebijakan Antariksa Nasional baru dalam 10 tahun terakhir. Kebijakan ditujukan untuk menjamin bahwa kemampuan AS di bidang antariksa tetap terjaga di tengah meningkatnya tantangan dan ancaman. Seperti dikemukakan oleh Robert G Joseph, Wakil Menlu Bidang Pengawasan Senjata dan Keamanan Internasional, hal itu merupakan keharusan, mengingat kemampuan antariksa bersifat vital bagi keamanan nasional dan kebaikan ekonomi.
Jadi, sebagaimana di bidang senjata nuklir, di bidang senjata ASAT pun AS menerapkan standar ganda. Di satu sisi keras menentang upaya pihak lain untuk mengembangkan senjata ini, di sisi lain pihaknya tak mau dikekang. Pemerintahan Bush dikenal menentang adanya persetujuan global yang melarang sistem senjata ASAT karena ingin mempertahankan kebebasan bertindak di antariksa. (IHT, 20-21/1)
Kini dengan uji tanggal 12 Januari itu China secara teori bisa menyerang satelit mata-mata AS yang mengorbit di orbit rendah (sampai 800 km). Lebih tepat lagi, yang bisa ditembak sistem ASAT China bukan hanya satelit AS, tetapi juga satelit Jepang, Rusia, Israel, dan satelit Eropa. Pada orbit ini AS punya satelit untuk melakukan pengintaian militer dasar, seperti pergerakan militer, persiapan uji nuklir, dan pelacakan aktivitas terorisme.
Selain diduga untuk mendesak AS agar mau merundingkan pelarangan senjata ASAT, uji sistem ASAT China juga tak bisa dilepaskan dari urusan Taiwan. Tak bisa ditutup-tutupi bahwa China terus memendam kegusaran terhadap AS yang tampak sangat membela Taiwan, wilayah yang ia klaim sebagai salah satu provinsinya itu. Mengingat kemungkinan konflik militer masih selalu ada, masing-masing pihak terus meningkatkan kemampuan untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Dalam hal ini, pengintaian melalui satelit termasuk elemen vital. Sejauh ini, Taiwan sendiri juga diketahui punya wahana antariksa pengintai yang bisa memotret obyek hingga ukuran tiga meter. (Bandingkan dengan satelit mata-mata AS KH-11 yang tiga dekade lalu saja sudah bisa memotret pelat nomor mobil di permukaan Bumi.) Dengan sarana itu yang bisa diketahui adalah berapa jumlah rudal jelajah China yang diarahkan ke Taiwan. Pada masa lalu Taiwan juga menyewa kemampuan satelit mata-mata Israel.
Terus dikembangkan
Interceptor |
Mengingat strategisnya peran satelit dalam perang modern, maka kekuatan-kekuatan utama dunia dipastikan akan terus mengembangkan kemampuan sistem satelitnya, baik untuk memata-matai maupun untuk menghancurkannya.
China menyadari betul hal ini dan telah mempelajari secara ekstensif bagaimana AS memanfaatkan citra satelit dalam Perang Teluk, dalam perang di Irak dan Afganistan, dan juga dalam melacak program nuklir Korea Utara—wilayah di mana ada bagi (sharing) informasi terbatas antara AS dan China. Menyadari pula bagaimana informasi dari satelit bisa digunakan oleh AS untuk kepentingannya manakala ada krisis Taiwan, maka China bisa dipahami melakukan langkah terakhir menguji sistem ASAT. Pesan yang ia kirim ke AS salah satunya adalah agar AS mau merundingkan ASAT karena kalau China harus mengembangkan satelit mata-mata secanggih AS masih perlu waktu lama.
Sebaliknya AS pun tak mau ketinggalan ketika kemampuan negara lain makin canggih. Angkatan Udara AS kini sudah memiliki sejumlah rencana untuk melindungi satelit-satelit Amerika selain rencana untuk menghancurkan satelit musuh. Untuk yang terakhir ini sebagian dipangkalkan di antariksa, sebagian di permukaan bumi, di kapal, atau dipasang pada pesawat seperti F-15.
Bila ASAT China menggunakan energi tumbukan oleh alat yang dipasang pada rudal, AS - selain punya sistem yang serupa - juga punya cara lain, yakni senjata energi (laser atau gelombang mikro energi tinggi). Selain itu ada juga sistem yang memanfaatkan hulu ledak eksplosif, di mana satelit akan ikut rusak atau hancur meski tidak secara langsung terkena hantaman.
Berbagai sistem ASAT yang bisa digunakan baik untuk ofensif maupun defensif tertuang dalam kajian "Air Force 2025". Termasuk di sini adalah "Satellite Bodyguards" yang terdiri dari sekitar lima satelit yang ditempatkan berdekatan dengan satelit yang ingin dilindungi. Beberapa dari satelit itu merupakan mainan (decoy), lainnya berupa satelit pemburu-pembunuh (hunter-killer) yang dipersenjatai dengan senjata energi tinggi untuk membutakan atau menghancurkan senjata ASAT musuh. (Jack Kelly, Post Gazette, 28/7/03) Satelit hunter-killer akan dirancang untuk mampu secara mandiri mendeteksi ancaman yang dipangkalkan di angkasa dan selain itu ia juga bisa menerima peringatan dari Bumi.
Melihat arah yang ada, topik ASAT yang ikut mereda dengan berakhirnya Perang Dingin tampaknya kini akan menghangat kembali dan dengan pemain baru, yakni China.
China menyadari betul hal ini dan telah mempelajari secara ekstensif bagaimana AS memanfaatkan citra satelit dalam Perang Teluk, dalam perang di Irak dan Afganistan, dan juga dalam melacak program nuklir Korea Utara—wilayah di mana ada bagi (sharing) informasi terbatas antara AS dan China. Menyadari pula bagaimana informasi dari satelit bisa digunakan oleh AS untuk kepentingannya manakala ada krisis Taiwan, maka China bisa dipahami melakukan langkah terakhir menguji sistem ASAT. Pesan yang ia kirim ke AS salah satunya adalah agar AS mau merundingkan ASAT karena kalau China harus mengembangkan satelit mata-mata secanggih AS masih perlu waktu lama.
Sebaliknya AS pun tak mau ketinggalan ketika kemampuan negara lain makin canggih. Angkatan Udara AS kini sudah memiliki sejumlah rencana untuk melindungi satelit-satelit Amerika selain rencana untuk menghancurkan satelit musuh. Untuk yang terakhir ini sebagian dipangkalkan di antariksa, sebagian di permukaan bumi, di kapal, atau dipasang pada pesawat seperti F-15.
Bila ASAT China menggunakan energi tumbukan oleh alat yang dipasang pada rudal, AS - selain punya sistem yang serupa - juga punya cara lain, yakni senjata energi (laser atau gelombang mikro energi tinggi). Selain itu ada juga sistem yang memanfaatkan hulu ledak eksplosif, di mana satelit akan ikut rusak atau hancur meski tidak secara langsung terkena hantaman.
Berbagai sistem ASAT yang bisa digunakan baik untuk ofensif maupun defensif tertuang dalam kajian "Air Force 2025". Termasuk di sini adalah "Satellite Bodyguards" yang terdiri dari sekitar lima satelit yang ditempatkan berdekatan dengan satelit yang ingin dilindungi. Beberapa dari satelit itu merupakan mainan (decoy), lainnya berupa satelit pemburu-pembunuh (hunter-killer) yang dipersenjatai dengan senjata energi tinggi untuk membutakan atau menghancurkan senjata ASAT musuh. (Jack Kelly, Post Gazette, 28/7/03) Satelit hunter-killer akan dirancang untuk mampu secara mandiri mendeteksi ancaman yang dipangkalkan di angkasa dan selain itu ia juga bisa menerima peringatan dari Bumi.
Melihat arah yang ada, topik ASAT yang ikut mereda dengan berakhirnya Perang Dingin tampaknya kini akan menghangat kembali dan dengan pemain baru, yakni China.
No comments:
Post a Comment