|
Foto Tarian Perang Suku Dayak |
Hikayat Panglima Burung justru menjadi sangat mencuat tatkala terjadi
kerusuhan etnis tahun 2001 di Kalimantan Tengah. Saat itu Panglima
Burung sebagai tokok gaib Dayak benar-benar dijadikan sandaran dalam
menghadapi serangan etnis tertentu dari seberang. Apa boleh buat,
sesuatu yang telah dilupakan menjadi bangun ke alam nyata. Lalu siapa
Panglima Burung dan bagaimana latar belakang ketokohannya? Inilah
sebagian kecil jawabannya, jawaban dari versi Suku Dayak yang mendiami
DAS (Daerah Aliran Sungai) Barito.
Kerusukan etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari
2001 di Sampit memaksa Panglima Burung hadir dan membantu warga suku
Dayak berperang dan mengusir warga etnis Madura. Sebagai Panglima besar,
tentu saja Panglima Burung tidak turun sendiri tetapi membawa sejumlah
pengawal alias Pasukan Khusus. Kata Abdul Hadi Bondo Arsyad, seorang
Temanggung Dayak dari Tumbang Senamang, Katingan Hulu, “Panglima Burung
muncul dengan membawa 87 orang pasukan khususnya”. Kata Kiyai Haji M.
Juhran Erpan Ali, Ketua Pondok Pesantren Ushuluddin, Martapura,
“Panglima Burung (adalah) seorang wanita berparas cantik namun berwatak
bengis. Selain itu ia juga bergelar hajjah”
Disamping Panglima
Burung sebagai panglima tertinggi Dayak, rusuh Sampit juga menurunkan
beberapa tokoh legenda alam gaib lainnya seperti Panglima Palai,
Panglima Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima Angin dan
beberapa panglima sakti lainnya. Yang pasti dari beberapa panglima itu
terdapat dua panglima wanita cantik yakni Panglima Burung dan Panglima
Api.
Dan kembali kepada keberadaan Panglima Burung yang
legendaris, kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali (56), “Keberadaannya
memang nyata, berwujud seorang wanita berparas cantik namun berwatak
bengis. Panglima Burung sudah ada jauh sebelum Indonesia
terbentuk”. Namun begitu, yang mengejutkan dari penuturan Kiyai Juhran
ini adalah karena sosok Panglima Perang Suku Dayak ini juga beragama
Islam dan menyandang titel seorang hajjah.
WA Samat dan Adonis
Samat bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut keberaniannya luar biasa
sekali. Salah satunya adalah saat berperang mendampingi Gusti (Ratu)
Zaleha dalam Perang Barito. “Amuk Barito itu terjadi pada tahun
1900-1901, dimana suku-suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Kinyah, Siang,
Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam atau pun
Kaharingan bersatu bahu membahu menghadapi serangan Belanda.
Nama-nama pahlawan Banjar seperti Pangeran Antasari Gusti Muhammad
Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu bersanding bahu membahu dengan (para
pahlawan Dayak seperti) Temanggung Surapati, Antung, Kuing,
Temanggung Mangkusari dan lain-lain yang merupakan kesatuan kekuatan
dalam perjuangan”.
Dalam rentang perjuangannya melawan
kolonialisme Belanda, Panglima Burung yang sangat cantik ini memiliki
beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada yang menyebutnya “Ilum”
atau “Itak” namun nama populernya adalah “Bulan Jihad”. Kabarnya, Bulan
Jihad memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha kawan
seperjuangannya.
Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah
puteri Gusti Muhammad Seman, putera Pangeran Antasari yang memimpin
Perang Banjar hingga memasuki kawasan Barito Utara dan (Barito) Selatan
dengan semboyannya (yang terkenal): “Haram Manyarah, Waja Sampai ka
Puting”.
Tjilik Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak
itu tetapi menurut beliau Bulan Jihad (bukan asli Dayak Kalteng tetapi)
berasal dari Suku Dayak Kinyah (Kaltim). Yang pasti, “nama Bulan Jihad
sangat terkenal diantero Barito Hulu dan Barito Selatan”, imbuh Tjilik
Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu kebal tahan senjata,
bisa menghilang dan (mampu) melibas lawan hanya dengan selendang saja.
Dia selalu berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang puteri
Banjar”. Dengan demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat
dan Adonis Samat (1948) sejalan dengan ceritera Pak Tjilik Riwut
(1950).
Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal
dunia pada tahun 1905, lalu awal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan
turun gunung, lantas apa keputusan Bulan Jihad dan sisa prajurit
lainnya? Ternyata Bulan Jihad tetap bertekad meneruskan perjuangan dan
terus mengembara. Maka terjadilah perpisahan yang sangat memilukan.
Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh
dan selanjutnya dia dibawa ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai Salmah.
Sejak perpisahan itu, tidak banyak orang yang tahu dimana keberadaan
Bulan Jihad dan kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11
Januari 1954, Bulan Jihad datang melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan
setempat di Muara Joloi sehingga saat itulah dia baru mengetahui kalau
Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu mengetahui
sahabat karibnya Ratu Zaleha telah lama meninggal dunia (24 September
1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan
hari itu pula dia kembali mengembara ke hutan rimba untuk
selama-lamanya. Inilah sekilas kisah muslimah Bulan Jihad yang setia
berperang mendampingi perjuangan Gusti Puteri Zaleha (1903-1906),
bahkan dia terus berjuang melewati masa juang pahlawan anti kolonialis
lainnya di tanah Dayak ini.
Dari bukti sejarah yang ditunjukkan
pendahulu kita menyatakan fakta bahwa kebulatan tekad persatuan, tekad
perjuangan melawan penjajahan tertuang jelas di dalam Perang Banjar dan
Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang Leman, Gusti Muhammad
Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan Jihad, Panglima Batur,
Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya, adalah gambaran
bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah,
Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam, Kristen maupun
Kaharingan. Kata Kiyai Juhran Erpan Ali, “(Sejak) masa itu telah ada
kesepakatan tekad bahwa suku Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah
berperang sesamanya sampai kapan pun juga”.
KUTIP BY : Kumpulan Cerita Rakyat Banjarmasin