Panglima Burung memang tidak asing kita dengar ditelinga kita warga kalimantan , dalam
masyarakat Dayak panglima burung dipercaya sebagai makhluk yang disebut-sebut sangat
Agung, Sakti, Ksatria, Ramah dan Berwibawa dan sangat di dewakan. Panglima Burung tersebut oleh
orang dayak dianggap sebagai Pemimpin spiritual, panglima perang, guru,
dan tetua yang diagungkan. Sifat pemberani inilah yang menjadi perlambang orang Dayak (suku asli
kalimantan). Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu
tentang dirinya. cerita diatas inilah yang mengilhami Pembentukan awal mula pasukan elite TNI-AU dan Pasukan Penerjung Payung pertama di Indonesia yang dimana personilnya diambil dari 12 Orang Warga Asli Kalimantan dan tercatat dalam sejarah Perjuangan Republik Indonesia.
PERISTIWA PEMBENTUKAN PASUKAN KHUSUS TNI AU
Pada awalnya Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor mengajukan permintaan kepada AURI agar mengirimkan pasukan payung ke Kalimantan untuk tugas membentuk dan menyusun gerilyawan, membantu perjuangan rakyat di Kalimantan, membuka stasiun radio induk untuk memungkinkan hubungan antara Yogyakarta dan Kalimantan, dan mengusahakan serta menyempurnakan daerah penerjunan (Dropping Zone) untuk penerjunan selanjutnya. Atas inisiatif Komodor (U) Suryadi Suryadarma kemudian dipilih 12 orang putra asli Kalimantan dan 2 orang PHB AURI untuk melakukan penerjunan.
Tanggal 17 Oktober 1947, tiga belas orang anggota berhasil diterjunkan di Sambi, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Mereka adalah Heri Hadi Sumantri (montir radio AURI asal Semarang), FM Suyoto (juru radio AURI asal Ponorogo), Iskandar (pimpinan pasukan), Ahmad Kosasih, Bachri, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, JH. Darius, dan Marawi. Semuanya belum pernah mendapat pendidikan secara sempurna kecuali mendapatkan pelajaran teori dan latihan di darat (ground training). Seorang lagi yaitu Jamhani batal terjun karena takut.
Mereka diterjunkan dari pesawat C-47 Dakota RI-002 yang diterbangkan oleh Bob Freeberg yang berkebangsaan Inggris, sekaligus pemilik pesawat, co-pilot Opsir (U) III Suhodo, dan jump master Opsir Muda (U) III Amir Hamzah. Bertindak sebagai penunjuk daerah penerjunan adalah Mayor (U) Cilik Riwut yang putra asli Kalimantan. Ini adalah operasi Lintas Udara pertama dalam sejarah Indonesia.
Pasukan ini awalnya akan diterjunkan di Sepanbiha, Kalimantan Selatan namun akibat cuaca yang buruk dan kontur daerah Kalimantan yang berhutan lebat mengakibatkan Mayor (U) Cilik Riwut kebingungan saat memprediksi tempat penerjunan. Setelah bergerilya didalam hutan pada tanggal 23 November 1947 akibat pengkhianatan seorang Kepala Desa setempat, pasukan ini disergap tentara Belanda yang mengakibatkan 3 orang gugur yaitu Heri Hadi Sumantri, Iskandar, dan Ahmad Kosasih. Sedangkan yang lainnya berhasil lolos namun akhirnya setelah beberapa bulan mereka berhasil juga ditangkap Belanda.
Dalam pengadilan, Belanda tidak dapat membuktikan bahwa mereka adalah pasukan payung dan akhirnya mereka dihukum sebagai seorang kriminal biasa. Mereka dibebaskan setelah menjalani hukuman 1 tahun dan langsung diangkat menjadi anggota AURI oleh Komodor (U) Suryadi Suryadarma
Peristiwa Penerjunan yang dilakukan oleh ke tiga belas prajurit AURI tersebut merupakan peristiwa yang menandai lahirnya satuan tempur pasukan khas TNI Angkatan Udara. Tanggal 17 Oktober 1947 kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) yang sekarang dikenal dengan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Korpaskhas).
SEJARAH PASUKAN PAYUNG PERTAMA RI
Adapun maksud kami menuliskan sejarah ini adalah sekaligus untuk memberikan informasi kepada masyarakat kabupaten Murung Raya untuk mengenang peristiwa bersejarah yang terjadi di Sambi, sebuah dusun kecil dikecamatan Arut Utara.
Fakta sejarah kepahlawanan dari warga kalimantan yang menggegerkan yang gaungnya membahana keseluruh dunia melawan propaganda Belanda yang mengatakan bahwa kekuatan Republik Indonesia sudah lemah, daerah kekuasaan RI di jawa dan Sumatera semakin sempit.
Setelah tanggal 17 Oktober 1947 itu, dunia menjadi gempar, ada paratroop (pasukan payung) indonesia yang menyerbu sampai ke rimba belantara Kalimantan ke daerah kekuasaan belanda yang dikatakannya sangat aman dan terkendali. Paratroop itu terjun di Sambi.
Latar belakang lahirnya pasukan payung itu adalah, untuk meningkatkan moril dan semangat pejuang rakyat kalimantan dalam mempertahankan kemerdekaan RI yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Untuk maksud tersebut, Gubernur Kalimantan pada waktu itu Ir. Pangeran Mohammad Noor, yang berkedudukan di Yogyakarta mengirim surat kepada KSAU S. Suryadarma agar menerjunkan pasukan payung ke Kalimantan.
Memenuhi permintaan melalui surat tanggal 27 Juli 1947 itu, KSAU membentuk staf khusus dengan tugas mempersiapkan dan melatih pasukan payung. Mayor Tjilik Riwoet diangkat sebagai komandan merangkap staf sekretaris bagian siasat KSAU. Sebanyak 60 Pemuda Kalimantan yang tergabung dalam kesatuan pasukan MN 1001 Kalimantan sebuah pasukan yang dipersiapkan Gubernur Kalimantan, bersama dengan pemuda-pemuda Sulawesi dan Jawa memasuki latihan persiapan selama 1 minggu. Latihan yang relatif singkat tersebut memakai peralatan yang sangat minim, sementara pesawat yang dipergunakan adalah pesawat kecil jenis “Capung” bersayap dua yang terbuat dari kain nota (kain layar). Parasut yang dipergunakan adalah parasut sisa perang Dunia II yang pernah dipakai tentara jepang. Latihan ini berada dibawah pengawasan langsung KSAU Komodor (U) S. Suryadarma yang hampir setiap saat ada dilokasi latihan di lapangan udara Maguwo (kini bandara Adisucipto) Yogyakarta. 14 orang lulus yaitu : Letnan Muda Iskandar yang berasal dari Sampit ditunjuk sebagai Komandan, Letnan Muda M Dachlan dari Sampit sebagai wakil komandan, Letnan Muda Johannes Bitak sebagai wakil komandan, Serma Mikka Amiruddin berasal dari Kahayan Hulu, Serma Cornelis Willems dari Kuala Kapuas, Serma Y. Hendrik Darius dari Kasongan, Serma Ahmad Kosasih dari Mangkahui Barito, Serma Moh. Bachri dari Barabai, serma Ali Akbar dari Balikpapan, Serma Djam’ani , Serma Suyoto dari Ponorogo, Serma Harry Adi Sumantri dari Semarang dan Sersan Marawi dari Rantau Pulut. Mereka yang lulus itu, bersama dengan 2 anggota PHB TNI-AU dipersiapkan untuk tugas “Operasi Kalimantan” yaitu membawa alat pemancar radio lengkap dengan motor dan bahan bakar, membawa pemancar induk hingga terselenggaranya hubungan Kalimantan-Sumatera-Jawa, menghimpun dan mengkordinir perlawanan setempat serta menyiapkan daerah dropping.
Pukul 01.30 waktu setempat pesawat sudah siap dilapangan Maguwo. Semua perlengkapan dimasukan, sementara anggota pasukan berdiri bersaf tak jauh dari pesawat. Dengan satu-satunya penerangan dari sebuah lampu sentar yang sebentar-sebentar saja dinyalakan KSAU Komodor S. Suryadarma menyampaikan amanat singkatnya.
Setelah itu satu-persatu anggota pasukan memasuki pesawat yang disewa Pemerintah RI dari Robert Freeberg, warga negara Amerika Serikat yang sekaligus menjadi pilotnya. Co Pilotnya adalah Opsir III M Suhodo, yang kadang-kadang menggantikan tugas pilot bila ia cape, dengan penunjuk jalan Mayor Tjilik Riwoet. Bagi Suhodo, ini adalah pertama kalinya ia terbang di malam hari. Pukul 02.30 pesawat tinggal landas dengan dilepas langsung KSAU Komodor Suryadarma. Dari Briefing yang diberikan, pasukan akan diterjunkan di Sepanbiha, diudik sungai Seruyan Kotawaringin. Setelah mendarat komandan pasukan harus mengadakan hubungan dengan pimpinan perjuangan setempat dan paling lambat tiga hari setelah penerjunan, harus mengadakan hubungan radio dengan Yogya.
Untuk keperluan itu pasukan dilengkapi pula dengan sebuah pemancar BC-375, sebuah pesawat penerima BC-348, dilengkapi baterai charge dan beberapa biji accu. Bila lewat dari waktu yang telah ditentukan mereka dianggap gugur. Sungguh heroik dan mulia tugas pasukan itu, demi mempertahankan kemerdekaan bangsanya.
Pukul 06.00 Pesawat yang diberi kode RI-002 itu sudah diatas rawa-rawa dan hutan Kalimantan dan sejam kemudian melayang-layang diatas bukit dimana terlihat tonggak kayu serta beberapa rumah panggung dicelah-celah hutan yang lebat. Setelah berputar diatas hutan lebat Kalimantan untuk melihat keadaan dan arah angin, posisi yang dianggap cukup baik, terdengar isyarat bel untuk persiapan penerjunan.
Bel kedua pintu pesawat terbuka, sampai akhirnya pada bel ketiga dimana satu-persatu anggota pasukan melakukan penerjunan setelah sebelumnya diturunkan barang-barang perlengkapan. Karena satu dan lain hal, satu dari 14 anggota yaitu Serma Djam’ani tidak jadi diterjunkan.
Setelah itu pesawat RI-002 kembali ke Yogya melalui route Karimun Jawa, Gunung Muria terus ke Maguwo. Untuk menghindari patroli pesawat tempur Belanda yang berpangkalan di Semarang, pesawat terpaksa menyusupi gumpalan awan. Pukul 11.00, pesawat mendarat di Maguwo setelah melakukan penerbangan bersejarah selama 8 jam dengan sisa bahan bakar hanya untuk 15 menit terbang saja lagi.
Dalam kenyataannya, pasukan tidak tepat terjun di Sepanbiha, tapi melenceng ke hutan di sekitar Riam Penahan yang masih masuk dalam wilayah dusun Sambi di Kotawaringin Barat. Ini karena kesalahan penunjuk jalan , ujar Mayor (Purn) M. Dachlan dalam wawancara dengan Kotawaringin Post Nadra Syahvitri dan Muhammad Harris Sadikin di Sampit.
Tidak satupun diantara 13 anggota pasukan payung Indonesia yang pertama itu berhasil dengan mulus mendarat sampai ketanah. Semuanya mengalami hambatan diatas pohon yang diantaranya ada berdiameter 3 meter, ketinggian 40 meter yang tumbuh dihutan belantara Kalimantan yang masih perawan. Hanya dengan akal dan tekad yang membaja, anggota pasukan bisa selamat sampai ketanah.
Sulit dibayangkan dengan modal hanya beberapa hari persiapan, dengan ketrampilan yang belum memadai, para anggota pasukan dapat melaksanakan penerjunan dengan baik. Diyakini bahwa upaya itu berhasil karena ditunjang oleh semangat juang dan mental yang tinggi sebagai pejuang sejati, tanpa memikirkan resiko dan nyawa.
Hari pertama penerjunan, baru 11 orang yang bisa berkumpul. Dua hari kemudian barulah seluruh anggota pasukan lengkap 13 orang. Ini berarti operasi penerjunan yang pertama kali dibumi Indonesia oleh putra-putra terbaik bangsa berhasil dilaksanakan dengan sukses, meskipun disisi lain sasaran yang ingin dicapai pasukan tidak seluruhnya berhasil.
Ke 13 anggota pasukan itu, dengan bantuan penduduk bernama Jagui dan Anton sebagai penunjuk jalan berpindah kubu dari Riam Penahan kesebelah utara kira-kira 4 km. Jagui dan Anton pulang ke Riam Penahan dengan pesan akan kembali dan memberikan laporan jika menemukan pergerakan pasukan Belanda disekitar Riam Penahan. Jagui tak pernah kembali, karena dicari Belanda dan terpaksa harus bersembunyi, sementara Anton yang tak sempat melarikan diri ditangkap bersama isteri Jagui.
Penjelajahan pasukan payung indonesia yang pertama ini terus berlanjut, menembus rimba belantara Kalimantan. Sempat menginap di dusun Sambi atas bantuan warga bernama Daser dan beberapa warga lainnya yang sempat bertemu ketika pertama berkumpul setelah penerjunan. Warga Dusun tersebut sedang berburu ketika bertemu para penerjun RI itu.
Hari kelima, barulah pasukan menemukan peralatan radionya, tapi sudah tidak lengkap sementara air accu tumpah sehingga peralatan yang ditemukan itu tidak bisa dimanfaatkan lagi. Akibatnya hubung ke yogya tidak bisa dilakukan.
Karena kondisi itulah , komandan Pasukan memerintahkan Serma Marawi yang berasal dari Rantau Pulut untuk melakukan penyelidikan disekitar Sambi hingga ke Rantau Pulut ( sekitar 20 km dari Sambi) untuk mengetahui apakah pasukan Belanda berada disekitar daerah tersebut.
Ternyata Marawi tak pernah kembali ke induk pasukan hingga, akhirnya letnan Iskandar memutuskan untuk meninggalkan Sambi. Tujuan ke Sepanbiha tak pernah tercapai, karena Belanda sudah mengetahui keberadaan pasukan payung Indonesia itu. Ini karena penghianatan seorang warga yang pada waktu itu menjadi Kepala kampung Mujang.
Hutan rimba yang lebat, alam yang buas serta keterbatasan logistik bukanlah rintangan bagi pasukan ini untuk melaksanakan tugas Operasi Kalimantan. Berhari-hari pasukan menjelajahi rimba Kalimantan dengan menyinggahi beberapa kampung kecil seperti Panyumpa, Mujang, Rantau Pulut.
Dalam Perjalanan menuju Tumbang Manjul, pasukan Letnan Iskandar ini diserang dan ditembaki pasukan Belanda. Letnan Iskandar sendiri gugur bersama dua anggotanya Serma Ahmad Kosasih dan Serma Harry Hadi Sumantri, sementara yang lainnya akhirnya ditawan tentara Belanda.
PELAKU PENERJUNAN
Pelaku penerjunan pasukan payung TNI-AU yang pertama Mayor (Purn) Muhammad Dachlan kepada Tabloid Telesdcope Sampit bercerita bahwa dari 14 orang yang lulus seleksi itu tidak satupun yang mengajukan lamaran untuk direkrut sebagai pasukan payung RI. Kami merasa diminta oleh Republik tercinta ini untuk mempertahankan kedaulatan negara dan Proklamasi Kemerdekaan RI, ujar Dachlan.
Mengenai Serma Djam’ani yang tidak diterjunkan, Mayor (Purn) Muhammad Dachlan mengatakan wajar, karena Djam’ani tidak pernah mengikuti latihan droping sehingga takut. Yang membuat anggota pasukan was-was adalah bahwa parasut yang digunakan untuk terjun itu peninggalan Jepang yang robek-robek dan penuh tambalan yang dikerjakan sendiri.
Republik juga tidak memiliki parasut cadangan untuk ditempatkan di dada, sehingga seluruh anggota pasukan hanya mengandalkan satu parasut yang di tempelkan dipunggung. Karena niat dan tekad kami untuk berjuang merebut Kalimantan, mempertahankan bangsa dan negara, akhirnya satu persatu kami melompat juga keluar pesawat dan menyerahkan kepada Allah SWT.
Operasi Kalimantan ini menurut Muhammad Dachlan termasuk nekad. Tanpa ketrampilan dan peralatan yang memadai kami bersedia untuk berjuang demi bangsa dan negara. Modal kami adalah niat untuk berjuang membela negara, itu saja. Muhammad Dachlan mengatakan tak menyangka bahwa operasi nekad itu ternyata berhasil membuat Belanda kelabakan dan dunia terkejut, tak menyangka bahwa Republik yang belum berusia tiga tahun itu memiliki pasukan payung yang menjadi cikal bakal Pasukan Gerak Cepat dan kini berubah menjadi Pasukan Khusus (Paskhas, pasukan elite TNI-AU.
Yang kami sedih, ujar 9 anak dari dua isteri, Martha (alm) dan Jamiriah itu adalah bahwa didaerah yang dilalui ada kampung yang sudah terkontaminasi dengan Belanda, sehingga sebagian warganya pro Belanda. Serma Marawi yang ditugaskan untuk mengamati pergerakan pasukan Belanda, rupanya terpengaruh dengan tetua setempat sehingga membelot dan tidak kembali lagi keinduk pasukan, hingga kami diserang. Serma Marawi sendiri tahun 1987, karena penghianatannya itu diadili di Bandung dan di jatuhi hukuman 7 tahun.
Dalam serangan Belanda itu, tiga orang anggota pasukan yaitu Komandan pasukan Letnan Iskandar, Serma Ahmad Kosasih dan serma Harry Adi Sumantri gugur sebagai bangsa. Muhammad Dachlan mengatakan bahwa ia sendiri tertembak di bagian tengkuk, tembus hingga keleher. Mengingat posisinya sebagai wakil komandan, dengan segala sisa tenaga Muhammad Dachlan berusaha untuk menyelamatkan diri.
Namun ia terjerambab hingga akhirnya pingsan. Waktu siuman, Muhammad Dachlan sudah dikepung tentara Belanda dengan bayonet terhunus kearah punggung. Saat itu seorang tentara Belanda mengatakan bahwa sebaiknya Muhammad Dachlan dibunuh saja daripada merepotkan.
Komandan pasukan Belanda itu nampaknya memahami posisi Muhammad Dachlan sebagai Wakil Komandan, sehingga akhirnya Muhammad Dachlan ditawan dan dirawat oleh pasukan Belanda dengan maksud bisa memperoleh keterangan mengenai kekuatan pasukan dan posisi tentara payung Indonesia dan basis pejuang lainnya.
Akhir Maret 1950, jenazah ketiga pahlawan seyogyanya akan dipindah ke Yogyakarta. Sayangnya yang ditemukan hanya kerangka jenazah Serma Harry Hadi Sumantri, sedangkan Letnan Iskandar dan Ahmad Kosasih tidak berhasil ditemukan. Menurut kabar, jenazah dua pahlawan terakhir itu dipindahkan ke makam pahlawan di Tumbang Manjul.
PERISTIWA PEMBENTUKAN PASUKAN KHUSUS TNI AU
Pada awalnya Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor mengajukan permintaan kepada AURI agar mengirimkan pasukan payung ke Kalimantan untuk tugas membentuk dan menyusun gerilyawan, membantu perjuangan rakyat di Kalimantan, membuka stasiun radio induk untuk memungkinkan hubungan antara Yogyakarta dan Kalimantan, dan mengusahakan serta menyempurnakan daerah penerjunan (Dropping Zone) untuk penerjunan selanjutnya. Atas inisiatif Komodor (U) Suryadi Suryadarma kemudian dipilih 12 orang putra asli Kalimantan dan 2 orang PHB AURI untuk melakukan penerjunan.
Foto. Pesawat Dakota Douglas C47 (RI 002) |
Tanggal 17 Oktober 1947, tiga belas orang anggota berhasil diterjunkan di Sambi, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Mereka adalah Heri Hadi Sumantri (montir radio AURI asal Semarang), FM Suyoto (juru radio AURI asal Ponorogo), Iskandar (pimpinan pasukan), Ahmad Kosasih, Bachri, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, JH. Darius, dan Marawi. Semuanya belum pernah mendapat pendidikan secara sempurna kecuali mendapatkan pelajaran teori dan latihan di darat (ground training). Seorang lagi yaitu Jamhani batal terjun karena takut.
Mereka diterjunkan dari pesawat C-47 Dakota RI-002 yang diterbangkan oleh Bob Freeberg yang berkebangsaan Inggris, sekaligus pemilik pesawat, co-pilot Opsir (U) III Suhodo, dan jump master Opsir Muda (U) III Amir Hamzah. Bertindak sebagai penunjuk daerah penerjunan adalah Mayor (U) Cilik Riwut yang putra asli Kalimantan. Ini adalah operasi Lintas Udara pertama dalam sejarah Indonesia.
Pasukan ini awalnya akan diterjunkan di Sepanbiha, Kalimantan Selatan namun akibat cuaca yang buruk dan kontur daerah Kalimantan yang berhutan lebat mengakibatkan Mayor (U) Cilik Riwut kebingungan saat memprediksi tempat penerjunan. Setelah bergerilya didalam hutan pada tanggal 23 November 1947 akibat pengkhianatan seorang Kepala Desa setempat, pasukan ini disergap tentara Belanda yang mengakibatkan 3 orang gugur yaitu Heri Hadi Sumantri, Iskandar, dan Ahmad Kosasih. Sedangkan yang lainnya berhasil lolos namun akhirnya setelah beberapa bulan mereka berhasil juga ditangkap Belanda.
Dalam pengadilan, Belanda tidak dapat membuktikan bahwa mereka adalah pasukan payung dan akhirnya mereka dihukum sebagai seorang kriminal biasa. Mereka dibebaskan setelah menjalani hukuman 1 tahun dan langsung diangkat menjadi anggota AURI oleh Komodor (U) Suryadi Suryadarma
Peristiwa Penerjunan yang dilakukan oleh ke tiga belas prajurit AURI tersebut merupakan peristiwa yang menandai lahirnya satuan tempur pasukan khas TNI Angkatan Udara. Tanggal 17 Oktober 1947 kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) yang sekarang dikenal dengan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Korpaskhas).
SEJARAH PASUKAN PAYUNG PERTAMA RI
Foto 12 Personil Penerjun memasuki pesawat Dakota |
Adapun maksud kami menuliskan sejarah ini adalah sekaligus untuk memberikan informasi kepada masyarakat kabupaten Murung Raya untuk mengenang peristiwa bersejarah yang terjadi di Sambi, sebuah dusun kecil dikecamatan Arut Utara.
Fakta sejarah kepahlawanan dari warga kalimantan yang menggegerkan yang gaungnya membahana keseluruh dunia melawan propaganda Belanda yang mengatakan bahwa kekuatan Republik Indonesia sudah lemah, daerah kekuasaan RI di jawa dan Sumatera semakin sempit.
Setelah tanggal 17 Oktober 1947 itu, dunia menjadi gempar, ada paratroop (pasukan payung) indonesia yang menyerbu sampai ke rimba belantara Kalimantan ke daerah kekuasaan belanda yang dikatakannya sangat aman dan terkendali. Paratroop itu terjun di Sambi.
Latar belakang lahirnya pasukan payung itu adalah, untuk meningkatkan moril dan semangat pejuang rakyat kalimantan dalam mempertahankan kemerdekaan RI yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Untuk maksud tersebut, Gubernur Kalimantan pada waktu itu Ir. Pangeran Mohammad Noor, yang berkedudukan di Yogyakarta mengirim surat kepada KSAU S. Suryadarma agar menerjunkan pasukan payung ke Kalimantan.
Memenuhi permintaan melalui surat tanggal 27 Juli 1947 itu, KSAU membentuk staf khusus dengan tugas mempersiapkan dan melatih pasukan payung. Mayor Tjilik Riwoet diangkat sebagai komandan merangkap staf sekretaris bagian siasat KSAU. Sebanyak 60 Pemuda Kalimantan yang tergabung dalam kesatuan pasukan MN 1001 Kalimantan sebuah pasukan yang dipersiapkan Gubernur Kalimantan, bersama dengan pemuda-pemuda Sulawesi dan Jawa memasuki latihan persiapan selama 1 minggu. Latihan yang relatif singkat tersebut memakai peralatan yang sangat minim, sementara pesawat yang dipergunakan adalah pesawat kecil jenis “Capung” bersayap dua yang terbuat dari kain nota (kain layar). Parasut yang dipergunakan adalah parasut sisa perang Dunia II yang pernah dipakai tentara jepang. Latihan ini berada dibawah pengawasan langsung KSAU Komodor (U) S. Suryadarma yang hampir setiap saat ada dilokasi latihan di lapangan udara Maguwo (kini bandara Adisucipto) Yogyakarta. 14 orang lulus yaitu : Letnan Muda Iskandar yang berasal dari Sampit ditunjuk sebagai Komandan, Letnan Muda M Dachlan dari Sampit sebagai wakil komandan, Letnan Muda Johannes Bitak sebagai wakil komandan, Serma Mikka Amiruddin berasal dari Kahayan Hulu, Serma Cornelis Willems dari Kuala Kapuas, Serma Y. Hendrik Darius dari Kasongan, Serma Ahmad Kosasih dari Mangkahui Barito, Serma Moh. Bachri dari Barabai, serma Ali Akbar dari Balikpapan, Serma Djam’ani , Serma Suyoto dari Ponorogo, Serma Harry Adi Sumantri dari Semarang dan Sersan Marawi dari Rantau Pulut. Mereka yang lulus itu, bersama dengan 2 anggota PHB TNI-AU dipersiapkan untuk tugas “Operasi Kalimantan” yaitu membawa alat pemancar radio lengkap dengan motor dan bahan bakar, membawa pemancar induk hingga terselenggaranya hubungan Kalimantan-Sumatera-Jawa, menghimpun dan mengkordinir perlawanan setempat serta menyiapkan daerah dropping.
Pukul 01.30 waktu setempat pesawat sudah siap dilapangan Maguwo. Semua perlengkapan dimasukan, sementara anggota pasukan berdiri bersaf tak jauh dari pesawat. Dengan satu-satunya penerangan dari sebuah lampu sentar yang sebentar-sebentar saja dinyalakan KSAU Komodor S. Suryadarma menyampaikan amanat singkatnya.
Setelah itu satu-persatu anggota pasukan memasuki pesawat yang disewa Pemerintah RI dari Robert Freeberg, warga negara Amerika Serikat yang sekaligus menjadi pilotnya. Co Pilotnya adalah Opsir III M Suhodo, yang kadang-kadang menggantikan tugas pilot bila ia cape, dengan penunjuk jalan Mayor Tjilik Riwoet. Bagi Suhodo, ini adalah pertama kalinya ia terbang di malam hari. Pukul 02.30 pesawat tinggal landas dengan dilepas langsung KSAU Komodor Suryadarma. Dari Briefing yang diberikan, pasukan akan diterjunkan di Sepanbiha, diudik sungai Seruyan Kotawaringin. Setelah mendarat komandan pasukan harus mengadakan hubungan dengan pimpinan perjuangan setempat dan paling lambat tiga hari setelah penerjunan, harus mengadakan hubungan radio dengan Yogya.
Untuk keperluan itu pasukan dilengkapi pula dengan sebuah pemancar BC-375, sebuah pesawat penerima BC-348, dilengkapi baterai charge dan beberapa biji accu. Bila lewat dari waktu yang telah ditentukan mereka dianggap gugur. Sungguh heroik dan mulia tugas pasukan itu, demi mempertahankan kemerdekaan bangsanya.
Pukul 06.00 Pesawat yang diberi kode RI-002 itu sudah diatas rawa-rawa dan hutan Kalimantan dan sejam kemudian melayang-layang diatas bukit dimana terlihat tonggak kayu serta beberapa rumah panggung dicelah-celah hutan yang lebat. Setelah berputar diatas hutan lebat Kalimantan untuk melihat keadaan dan arah angin, posisi yang dianggap cukup baik, terdengar isyarat bel untuk persiapan penerjunan.
Bel kedua pintu pesawat terbuka, sampai akhirnya pada bel ketiga dimana satu-persatu anggota pasukan melakukan penerjunan setelah sebelumnya diturunkan barang-barang perlengkapan. Karena satu dan lain hal, satu dari 14 anggota yaitu Serma Djam’ani tidak jadi diterjunkan.
Setelah itu pesawat RI-002 kembali ke Yogya melalui route Karimun Jawa, Gunung Muria terus ke Maguwo. Untuk menghindari patroli pesawat tempur Belanda yang berpangkalan di Semarang, pesawat terpaksa menyusupi gumpalan awan. Pukul 11.00, pesawat mendarat di Maguwo setelah melakukan penerbangan bersejarah selama 8 jam dengan sisa bahan bakar hanya untuk 15 menit terbang saja lagi.
Dalam kenyataannya, pasukan tidak tepat terjun di Sepanbiha, tapi melenceng ke hutan di sekitar Riam Penahan yang masih masuk dalam wilayah dusun Sambi di Kotawaringin Barat. Ini karena kesalahan penunjuk jalan , ujar Mayor (Purn) M. Dachlan dalam wawancara dengan Kotawaringin Post Nadra Syahvitri dan Muhammad Harris Sadikin di Sampit.
Tidak satupun diantara 13 anggota pasukan payung Indonesia yang pertama itu berhasil dengan mulus mendarat sampai ketanah. Semuanya mengalami hambatan diatas pohon yang diantaranya ada berdiameter 3 meter, ketinggian 40 meter yang tumbuh dihutan belantara Kalimantan yang masih perawan. Hanya dengan akal dan tekad yang membaja, anggota pasukan bisa selamat sampai ketanah.
Sulit dibayangkan dengan modal hanya beberapa hari persiapan, dengan ketrampilan yang belum memadai, para anggota pasukan dapat melaksanakan penerjunan dengan baik. Diyakini bahwa upaya itu berhasil karena ditunjang oleh semangat juang dan mental yang tinggi sebagai pejuang sejati, tanpa memikirkan resiko dan nyawa.
Hari pertama penerjunan, baru 11 orang yang bisa berkumpul. Dua hari kemudian barulah seluruh anggota pasukan lengkap 13 orang. Ini berarti operasi penerjunan yang pertama kali dibumi Indonesia oleh putra-putra terbaik bangsa berhasil dilaksanakan dengan sukses, meskipun disisi lain sasaran yang ingin dicapai pasukan tidak seluruhnya berhasil.
Ke 13 anggota pasukan itu, dengan bantuan penduduk bernama Jagui dan Anton sebagai penunjuk jalan berpindah kubu dari Riam Penahan kesebelah utara kira-kira 4 km. Jagui dan Anton pulang ke Riam Penahan dengan pesan akan kembali dan memberikan laporan jika menemukan pergerakan pasukan Belanda disekitar Riam Penahan. Jagui tak pernah kembali, karena dicari Belanda dan terpaksa harus bersembunyi, sementara Anton yang tak sempat melarikan diri ditangkap bersama isteri Jagui.
Penjelajahan pasukan payung indonesia yang pertama ini terus berlanjut, menembus rimba belantara Kalimantan. Sempat menginap di dusun Sambi atas bantuan warga bernama Daser dan beberapa warga lainnya yang sempat bertemu ketika pertama berkumpul setelah penerjunan. Warga Dusun tersebut sedang berburu ketika bertemu para penerjun RI itu.
Hari kelima, barulah pasukan menemukan peralatan radionya, tapi sudah tidak lengkap sementara air accu tumpah sehingga peralatan yang ditemukan itu tidak bisa dimanfaatkan lagi. Akibatnya hubung ke yogya tidak bisa dilakukan.
Karena kondisi itulah , komandan Pasukan memerintahkan Serma Marawi yang berasal dari Rantau Pulut untuk melakukan penyelidikan disekitar Sambi hingga ke Rantau Pulut ( sekitar 20 km dari Sambi) untuk mengetahui apakah pasukan Belanda berada disekitar daerah tersebut.
Ternyata Marawi tak pernah kembali ke induk pasukan hingga, akhirnya letnan Iskandar memutuskan untuk meninggalkan Sambi. Tujuan ke Sepanbiha tak pernah tercapai, karena Belanda sudah mengetahui keberadaan pasukan payung Indonesia itu. Ini karena penghianatan seorang warga yang pada waktu itu menjadi Kepala kampung Mujang.
Hutan rimba yang lebat, alam yang buas serta keterbatasan logistik bukanlah rintangan bagi pasukan ini untuk melaksanakan tugas Operasi Kalimantan. Berhari-hari pasukan menjelajahi rimba Kalimantan dengan menyinggahi beberapa kampung kecil seperti Panyumpa, Mujang, Rantau Pulut.
Dalam Perjalanan menuju Tumbang Manjul, pasukan Letnan Iskandar ini diserang dan ditembaki pasukan Belanda. Letnan Iskandar sendiri gugur bersama dua anggotanya Serma Ahmad Kosasih dan Serma Harry Hadi Sumantri, sementara yang lainnya akhirnya ditawan tentara Belanda.
PELAKU PENERJUNAN
Foto Tjilik Riwut |
- Iskandar berasal dari Sampit.
- Dachlan berasal dari Sampit.
- J. Bitak berasal dari Kepala Baru.
- C. Willems berasal dari Kuala Kapuas.
- J. Darius berasal dari Kasungan.
- Achmad Kosasih bersala dari Mangkahulu.
- Bachrie berasal dari Berabai.
- Ali Akbar berasal dari Balikpapan.
- M. Aminuddin berasal dari Kahayanhulu.
- Emanuel berasal dari Kahayanhulu.
- Morawi berasal dari Rentaupulut.
- Opsir Muda Udara I Harry Hadisumantri (Anggota PHB AURI).
- Sersan Udara F.M. Soejoto ( Anggota PHB AURI).
Pelaku penerjunan pasukan payung TNI-AU yang pertama Mayor (Purn) Muhammad Dachlan kepada Tabloid Telesdcope Sampit bercerita bahwa dari 14 orang yang lulus seleksi itu tidak satupun yang mengajukan lamaran untuk direkrut sebagai pasukan payung RI. Kami merasa diminta oleh Republik tercinta ini untuk mempertahankan kedaulatan negara dan Proklamasi Kemerdekaan RI, ujar Dachlan.
Mengenai Serma Djam’ani yang tidak diterjunkan, Mayor (Purn) Muhammad Dachlan mengatakan wajar, karena Djam’ani tidak pernah mengikuti latihan droping sehingga takut. Yang membuat anggota pasukan was-was adalah bahwa parasut yang digunakan untuk terjun itu peninggalan Jepang yang robek-robek dan penuh tambalan yang dikerjakan sendiri.
Republik juga tidak memiliki parasut cadangan untuk ditempatkan di dada, sehingga seluruh anggota pasukan hanya mengandalkan satu parasut yang di tempelkan dipunggung. Karena niat dan tekad kami untuk berjuang merebut Kalimantan, mempertahankan bangsa dan negara, akhirnya satu persatu kami melompat juga keluar pesawat dan menyerahkan kepada Allah SWT.
Operasi Kalimantan ini menurut Muhammad Dachlan termasuk nekad. Tanpa ketrampilan dan peralatan yang memadai kami bersedia untuk berjuang demi bangsa dan negara. Modal kami adalah niat untuk berjuang membela negara, itu saja. Muhammad Dachlan mengatakan tak menyangka bahwa operasi nekad itu ternyata berhasil membuat Belanda kelabakan dan dunia terkejut, tak menyangka bahwa Republik yang belum berusia tiga tahun itu memiliki pasukan payung yang menjadi cikal bakal Pasukan Gerak Cepat dan kini berubah menjadi Pasukan Khusus (Paskhas, pasukan elite TNI-AU.
Yang kami sedih, ujar 9 anak dari dua isteri, Martha (alm) dan Jamiriah itu adalah bahwa didaerah yang dilalui ada kampung yang sudah terkontaminasi dengan Belanda, sehingga sebagian warganya pro Belanda. Serma Marawi yang ditugaskan untuk mengamati pergerakan pasukan Belanda, rupanya terpengaruh dengan tetua setempat sehingga membelot dan tidak kembali lagi keinduk pasukan, hingga kami diserang. Serma Marawi sendiri tahun 1987, karena penghianatannya itu diadili di Bandung dan di jatuhi hukuman 7 tahun.
Dalam serangan Belanda itu, tiga orang anggota pasukan yaitu Komandan pasukan Letnan Iskandar, Serma Ahmad Kosasih dan serma Harry Adi Sumantri gugur sebagai bangsa. Muhammad Dachlan mengatakan bahwa ia sendiri tertembak di bagian tengkuk, tembus hingga keleher. Mengingat posisinya sebagai wakil komandan, dengan segala sisa tenaga Muhammad Dachlan berusaha untuk menyelamatkan diri.
Namun ia terjerambab hingga akhirnya pingsan. Waktu siuman, Muhammad Dachlan sudah dikepung tentara Belanda dengan bayonet terhunus kearah punggung. Saat itu seorang tentara Belanda mengatakan bahwa sebaiknya Muhammad Dachlan dibunuh saja daripada merepotkan.
Komandan pasukan Belanda itu nampaknya memahami posisi Muhammad Dachlan sebagai Wakil Komandan, sehingga akhirnya Muhammad Dachlan ditawan dan dirawat oleh pasukan Belanda dengan maksud bisa memperoleh keterangan mengenai kekuatan pasukan dan posisi tentara payung Indonesia dan basis pejuang lainnya.
Akhir Maret 1950, jenazah ketiga pahlawan seyogyanya akan dipindah ke Yogyakarta. Sayangnya yang ditemukan hanya kerangka jenazah Serma Harry Hadi Sumantri, sedangkan Letnan Iskandar dan Ahmad Kosasih tidak berhasil ditemukan. Menurut kabar, jenazah dua pahlawan terakhir itu dipindahkan ke makam pahlawan di Tumbang Manjul.
SUMBER :
KOTAWARINGIN POST,EDISI 42, 6-12 NOPEMBER 2000
Sunting Kembali By.
Momo Sergei Dragunov (|||0|||0)